SHARE

Deswerd Zougita

Oleh : Deswerd Zougira

'Torang pe' Bank Sulutgo (BSG) berbadan hukum privat (PT).  Saat ini di BSG ada penyertaan saham Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, Pememerintah Daerah Gorontalo (Pemda) serta dua pesaham swasta : Mega Corporate dan Karyawan BSG.

Tentang penyertaan modal pemda itu diatur di UU Pemerintahan Daerah.  UU ini menyebut suatu korporasi dapat disebut sebagai BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) bila penguasaan saham oleh satu pemda diatas 50 persen.

Di BSG tidak ada satu pemda pun yg memenuhi ketentuan tersebut. Artinya BSG bukan BUMD tetapi badan hukum privat (PT). Itu sebabnya saham yg disetor dan digabung dengan saham swasta, statusnya tidak murni lagi milik pemda. Saham/modal ini sudah berubah status menjadi milik BSG kendati dalam portofolio saham pemda dan swasta. Pada tataran ini BSG bertanggung-jawab  kepada para pemegang saham.

Karena usahanya di bidang perbankan maka BSG pun tunduk pada UU Perbankan. Termasuk dalam hal pemberian kredit.

Soal pemberian kredit misalnya.  Di BSG ada yang namanya BPP (buku panduan perkreditan) yg mengatur  hal ihwal pemberian kredit.

Dalam proses pemberian kredit, debitur berakad  dengan kreditur (BSG), bukan dengan pemilik saham. Di akad tidak ada disebut sumber pendanaan dari pemilik saham tapi dari BSG.

Bila kredit gagal bayar dan terjadi wanprestasi maka agunan disita untuk menutupi kredit (keperdataan).

Bila agunan tidak mencukupi maka patut ditelusuri apakah ada penyimpangan dalam pemberian kredit. Bila ada penyimpangan yang berimplikasi merugi (istilah bank, pengurangan pendapatan) maka yg rugi BSG bukan pemilik saham. Penyelesaian atas masalah begini tetap mengacu pada UU Perbankan. Pelakunya terancam  pidana 8 tahun penjara. Pidana perbankan domain kepolisian. Jadi sungguh sudah sangat jelas pengaturannya.

Lalu apakah kredit macet di BSG juga masuk ranah pidana korupsi?

Menurut UU Perbendaharaan Negara, korupsi adalah kekurangan uang, surat berharga (saham dll) dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya karena perbuatan melawan hukum, baik sengaja atau lalai.

Dari definisi UU Perbendaharaan Negara tersebut, dikaitkan dengan uraian diatas, menjadi terang bahwa kredit macet di BSG tidak masuk ranah pidana korupsi karena kredit yg diterima debitur sudah bukan lagi uang pemda tapi uang BSG.

Lagi pula uang atau saham pemda yang disetor ke BSG tidak pernah berkurang  nilainya akibat kredit macet.

Bahkan sejak berdiri hingga saat ini, pada setiap menggelar RUPS (rapat umum pemegang saham) BSG selalu membagi deviden kepada pemegang saham yang berarti pemda memperoleh pemasukan/untung.  Di RUPS itu pula BSG menyampaikan laporan pertanggung jawab atas pengelolaan saham.

Semua pengaturan itu adalah konsekuensi yuridis dari bergabungnya saham pemda dan swasta dalam sebuah korporasi bisnis perbankan yang bernama BSG.                  

Tapi apa yg terjadi kemudian di luar dugaan banyak pihak. Sebab pekan-pekan ini pengadilan Tipikor Gorontalo sedang mengadili 6 orang (kreditur dan debitur) dalam perkara kredit macet senilai 23 milyar rupiah di BSG. Pada sidang 15 Desember, 2 debitur sudah dijatuhi hukuman penjara masing-masing 6 tahun plus ganti rugi dan denda. Keduanya tidak terima lalu banding.

Hakim menyebut kedua debitur itu terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 jonto UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU antikorupsi). Kok, bisa. Ini uraian sederhananya.

Seperti diketahui ada 4 unsur dalam pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 jonto UU Nomor 20 tahun 2001 (UU antikorupsi) itu. Pertama, unsur setiap orang. Kedua, unsur melakukan perbuatan melawan hukum. Ketiga, unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Keempat, unsur merugikan keuangan negara.

Seseorang bisa dinyatakan terbukti korupsi bila seluruh unsur itu terpenuhi. Satu saja unsur tidak terpenuhi, berarti bukan korupsi.

Nah, unsur yang paling relevan dalam perkara ini adalah unsur merugikan keuangan negara.

Pertanyaannya, apakah dalam akad kredit ada uang negara? Sudah disebutkan diatas bahwa di akad kredit tidak ada uang pemda/negara, adanya uang BSG.

Lalu apakah pemda/negara mengalami rugi? Pemda/negara tidak rugi, sebab nilai saham pemda/negara tidak pernah berkurang sedikit pun dengan adanya tuduhan kredit macet itu. Pemda/ negara malah mendapat untung.

Dari fakta tersebut  jelas bahwa unsur merugikan keuangan negara sama sekali tidak terpenuhi. Sudah disampaikan diatas, bila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut sebagai korupsi.

Yang bikin heran kredit yang oleh jaksa dan hakim disebut macet itu, di persidangan terungkap  belum habis hak tanggungannya alias kredit masih berjalan.

Sebelumnya - ini juga bikin heran - telah ada putusan praperadilan PN Limboto yang menyebutkan penetapan 6 tersangka diatas (perkaranya terpisah) oleh jaksa tidak sah. Putusan ini sudah inkrah karena tidak bisa banding atau kasasi. Tapi kemudian, pasca putusan, jaksa menerbitkan penetapan tersangka baru lalu buru-buru - hanya beberapa hari - melimpahkan berkas perkaranya ke pengadilan Tipikor. Buru-buru karena khawatir akan dipraperadilan lagi.

Belakangan di persidangan Tipikor terungkap, ternyata sprint penetapan tersangka baru itu tetap memakai BAP saksi dan tersangka yang sudah dibatalkan hakim praperadilan. Kok bisa. Heran, kan.  Itulah wajah kusam penegakan hukum kita hari ini.

Saya tidak terbiasa membela mereka yang didakwa korupsi. Apalagi kenal pun tidak. Tapi untuk perkara ini saya agak berbeda. Perkara ini bisa menimpa siapa saja yang kebetulan kredit banknya bermasalah.**

*Penulis Nasabah BSG

Tags
SHARE