SHARE

istimewa

Sementara Lukman Sardi berpengalaman akting sejak kecil melalui film panjang pertamanya "Pengemis dan Tukang Becak" (1978). Pada awal era 2000-an, Lukman kembali menyeriusi karier akting dengan bermain film "Gie" (2004), yang membuatnya langsung dinominasikan sebagai Aktor Pendukung Terbaik FFI 2005. Sejak itu, Lukman aktif dan tidak pernah absen berakting dalam film panjang setiap tahunnya. Hingga saat ini, ada lebih dari 80 judul film yang sudah dimainkan Lukman. Sejumlah film yang sukses melambungkan namanya dan menorehkan prestasi untuk Lukman, antara lain "9 Naga" (2006), "Nagabonar Jadi 2" (2007), "Quickie Express" (2007), "Sang Pencerah" (2010), "Soekarno: Indonesia Merdeka" (2013), "27 Steps of May" (2018), hingga "Gundala" (2019).

Dengan rekam jejak serta kemampuan akting Lukman dan Ruth yang sudah tak perlu diragukan lagi itu, Wregas Bhanuteja sebagai sutradara dan penulis film "Penyalin Cahaya" langsung merasa kedua aktor tersebut adalah pilihan yang tepat untuk memerankan orang tua Sur. Wregas sendiri kepincut dengan performa akting Ruth saat memerankan Sinto Gendeng dalam film "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212".

"Ruth Marini adalah aktor film dan teater yang sangat kuat. Banyak sekali ilmu dalam seni peran yang ia kuasai mencakup teknik vokal, raut wajah, maupun pernafasan. Hal-hal inilah yang membuat saya merasa ia sangat kuat untuk memerankan ibu Sur. Sosok yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi kehidupan dan harus terus bekerja untuk ketahanan hidup keluarganya. Banyak lapisan emosi yang sudah terpendam lama, dan semua lapisan itu harus terwujud melalui raut wajah. Hanya dengan melihat wajahnya pun, kita tahu sejarah yang telah dilalui karakter ibu Sur," jelas Wregas.

Sementara kekuatan Lukman Sardi, menurut Wregas, terletak pada matanya. Kekuatan mata ini Wregas amati sejak pertama kali melihat akting Lukman dalam "Sang Pencerah".

"Ia mampu menahan emosi yang meluap-luap, yang tidak harus terwujud dari kata-kata maupun gerak tubuh, melainkan hanya diwujudkan dari mata. Mata yang menahan emosi dan perasaan. Pada saat memikirkan peran ayah Sur ini, pikiran saya langsung tertuju pada Lukman Sardi. Bagaimana suatu perasaan yang campur aduk mencakup tekanan sosial, rasa sayang terhadap anak, spiritualitas, dan lain-lain harus dipadukan ke dalam satu peran, dan diwujudkan dengan porsi yang pas," ungkap Wregas.

“Penyalin Cahaya” merupakan debut film panjang Wregas Bhanuteja. Sebelumnya, ia sudah membuat film-film pendek yang berhasil masuk kompetisi festival film internasional. Antara lain, “Lemantun” (pemenang Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2015), “Lembusura” (berkompetisi di Berlin International Film Festival 2015), “Prenjak” (pemenang Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan Piala Citra FFI 2016), serta “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” (pemenang Piala Citra FFI 2019 dan berkompetisi di Sundance Film Festival 2020).

Dalam membuat “Penyalin Cahaya”, produser Adi Ekatama dan Ajish Dibyo dari Rekata Studio berkolaborasi dengan produser Willawati dari Kaninga Pictures. Kaninga Pictures sendiri pernah memproduksi film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017). Dalam kompetisi utama Busan International Film Festival (BIFF) pada Oktober mendatang, film "Penyalin Cahaya" (judul internasional: "Photocopier") akan bersaing dengan sepuluh film dari delapan negara lain untuk memperebutkan empat penghargaan bergengsi, yakni New Currents Award, New Currents Audience Award, NETPAC Award, dan FIPRESCI Award.

Halaman :
Tags
SHARE