SHARE

CARAPANDANG - Ada banyak jenis gangguan kesehatan mental. Ternyata, kepribadian narsistik dan flexing termasuk salah satunya. Hal ini diungkapkan oleh sebuah penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Psychopathology pada 2018.

Adapun kepribadian narsistik adalah kondisi gangguan kepribadian di mana seseorang merasa dirinya paling penting, sangat membutuhkan perhatian, dan kekaguman terhadap diri sendiri yang berlebihan, seperti melansir laman Kementerian Kesehatan RI. Sementara itu, mengutip laman Cambridge Dictionary, flexing adalah perilaku di mana seseorang menunjukkan atau memamerkan perasaan bangga atau senang terhadap sesuatu yang dilakukan atau dimiliki secara berlebihan.

“Misalnya, memamerkan status sosial yang tinggi, kekayaan yang dimiliki. Flexing ini adalah perilaku pamer yang berlebihan tentunya. Kalau kita merasa bangga atau senang secukupnya, itu sesuatu yang wajar,” kata Ketua Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Ekowati, dalam acara Media Briefing bertajuk ‘Pentingnya Kesehatan Mental untuk Cegah Bullying dan Flexing’ di kawasan Jakarta Selatan pada Jumat, (26/5/2023).

Lebih lanjut, Maria mengingatkan untuk lebih sadar terhadap orang-orang di sekitar yang menunjukkan kecenderungan narsistik atau flexing. “Amati kehidupan sosial kita, apakah ada kecenderungan orang-orang di sekitar kita yang narsis dan flexing. Ingatkan bahwa itu sudah menandakan kecenderungan gangguan kesehatan mental,” tutur wanita ketua komunitas sekaligus psikolog tersebut.

Lebih lanjut, Maria mengungkap, pola asuh sejak masa kecil berperan penting dalam pembentukan gangguan kepribadian narsistik dan flexing. “Masa kecil itu mempengaruhi, seperti pola asuh atau parenting,” tuturnya.

Meski begitu, menurut Maria, lingkungan sekitar seseorang seiring pertumbuhan juga dapat memengaruhi terbentuknya gangguan kepribadian ini. “Tapi, manusia itu fleksibel. Selama pertumbuhan dan perkembangannya, bisa juga ia dipengaruhi oleh lingkungannya,” dia melanjutkan.

Dengan mencuatnya penggunaan internet dan media sosial, menurut Maria, kepribadian narsistik dan flexing kini justru sering dianggap hal biasa.

“Karena narsis dan flexing itu sekarang menjadi tren, jadi dianggap masih lumrah. Namun, sekarang kita juga perlu mengamati ketika narsis dan flexing terlalu berlebihan,” ujarnya.

Seperti diketahui, istilah flexing mulai banyak kita temui di dunia maya, bahkan menjadi bahasa gaul yang kerap digunakan di media sosial. Awalnya istilah ini digunakan untuk memamerkan kondisi dan pencapaian progres fisik seseorang setelah berolahraga, baik di rumah atau di gym, seperti melansir All Things How. Kini, memamerkan hal-hal lain secara berlebihan juga disebut flexing. Tak jarang pula orang-orang di media sosial rela memalsukan hal-hal yang dipamerkan tersebut demi mendapatkan perhatian banyak orang. Ternyata, kata ‘flex’ itu didefinisikan lebih dari sekadar pamer, melainkan juga mencari validasi dari orang, terutama di jagat maya. Bahkan, ada saja yang rela memalsukan identitas diri mereka di media sosial demi sekedar likes dan views.

Mereka mulai membangun citra diri palsu di dunia maya. Tak heran, media sosial menjadi tempat untuk mengejar validasi dan mendapatkan banyak teman. Menurut seorang pengamat media sosial Edwin Syarif, tak hanya untuk kesehatan mental pelaku flexing, konten flexing di media sosial juga dapat memengaruhi orang lain. “Sebetulnya tidak ada yang salah kalau kita mengonsumsi konten flexing, cuma yang salah itu adalah kalau kita terpengaruh,” tuturnya. Oleh sebab itu, penting untuk memiliki pengendalian diri.

Hal ini dituturkan oleh seorang psikolog, Dian Wisnuwardhani. “Dengan self-control, artinya kita lihat apa sih pentingnya menonton orang yang pamer atau melakukan flexing ini,” katanya. “Berguna atau tidak, dampaknya buat kita bagaimana,” pungkas Dian.




Tags
SHARE