SHARE

istimewa

Program ini lahir dari pemikiran bahwa seni atau budaya bisa menjadi metode dalam proses pembelajaran sehingga dianggap mampu memecah permasalahan pada pendidikan. Tujuan Presisi yaitu membentuk karakter peserta didik yang mandiri, serta sebagai wahana untuk mendekatkan peserta didik dengan lingkungan di mana ia berada atau pun lingkungan di mana sekolahnya berada.

Hilmar menjelaskan, Presisi menerapkan metode pembelajaran kontekstual agar siswa dapat menemukenali budaya yang berbasis di desa. “Jadi Presisi ini program di mana anak-anak diberi keleluasaan untuk memberikan sebuah presisi. Mereka melakukan pencatatan, itu yang paling mendasar. Yang paling penting adalah sikap bersahaja dan mengakui apa yang tidak kita tahu. Jadi bersikap terbuka dan bersahaja. Pengetahuan itu dikumpulkan menjadi sebagai basis, kemudian berangkat dari situ untuk mengembangkan kearifan lokal di daerahnya masing-masing,” tutur Hilmar.

Menurutnya, upaya integrasi antara sistem pendidikan dengan pemajuan kebudayaan menjadi tantangan yang serius. Karena itu ia ingin berdiskusi dan mendengar pemikiran dan ide dari berbagai pemangku kepentingan mengenai bagaimana mengembangkan kebudayaan di sekolah-sekolah. Dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, salah satu tantangan besarnya adalah mengintegrasikan pemahaman mengenai  warisan pangan secara kultural kepada generasi muda.

“Kita punya 250-ribu sekolah. Kalau berbicara tentang kelokalan, satu daerah pasti berbeda dengan yang lain, ehingga kita akan dapat insight tidak ada batasnya. Bagaimana kita membentuk sistem yang tak terhingga itu sehingga bisa disalurkan ke sekolah lain yang sangat banyak.

Bagaimana caranya membuat suatu sistem yang beraneka ragam dan memanfaatkannya sehingga bisa menjadi sesuatu yang bisa ditransfer dari satu tempat ke tempat lain” kata Hilmar.

Ia juga mengajukan salah satu solusi, yaitu dengan membuka ruang di sekolah atau satuan pendidikan kepada masyarakat atau publik. Menurutnya, selama ini kurang terdapat ruang terbukadi sekolah hanya berpusat pada guru dan murid. “Misalnya praktisi yang tidak punya sertifikasi formal mengajar bisa berinterakasi dan mengajar di sekolah sebagai bagian dari unsur masyakarat.

Tantangan utama tentu bahasa dan kebiasaan. Saya mengajak semuanya, setelah kegiatan ini kita bisa melihat bersama-sama ke berbagai tempat sehingga satuan pendidikan bisa menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang meneruskan dan mengembangkan pengetahuan budaya dari generasi ke generasi,” ujarnya.

Proses transfer pengetahuan menjadi salah satu kunci bagaimana budaya pangan kita terjaga hingga generasi berikutnya. Bincang Cerlang dengan tema “Pendidikan Budaya Pangan Nusantara untuk Pembentukan Karakter” juga mengapresiasi kiprah para tokoh penggerak di bidang pendidikan budaya pangan dalam mengembangkan dan merawat tradisi pangan warisan lokal.

Dalam diskusi tersebut juga dibahas mengenai strategi bagaimana memasukkan pengetahuan budaya pangan ini ke dalam materi pendidikan, baik formal dan informal dengan menghadirkan empat narasumber lain.

Eko Purnomowidi, Pendiri Koperasi Klasik Beans, bercerita mengenai inisiatif yang telah dilakukan untuk mengembalikan karakter masyarakat berbasis kearifan lokal sehingga pelestarian ekosistem menjadi bagian dari kehidupan sehari-sehari (lifestyle). Kemudian Nissa Wargadipura,

Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq, berbagi pengalaman terkait bagaimana implementasi pengajaran megenai pangan di Pesantren Ekologi Athariq yang dipimpinnya. Raudha Thaib,

Ketua Perkumpulan Bundo Kanduang Minangkabau, memaparkan filosofi budaya Minang dan aplikasinya dalam sistem pangan berbasis kearifan lokal. Kemudian Diah Widuretno,

Pendiri Sekolah Pagesangan Gunung Kidul, bercerita bagaimana membangun kemandirian pangan dan peluang usaha desa melalui pendidikan kontekstual budidaya pertanian di lahan gersang/kering. Diskusi dalam Bincang Cerlang tersebut dipandu oleh pegiat pelestarian pangan, yaitu Dwi Rahmad Muhtaman dan Irwan Fakhruddin. 

Halaman :