SHARE

Istimewa (Net)

CARAPANDANG.COM - Oleh: Mujamin Jassin, Penulis dan Pemerhati Sosial

Beberapa hari lalu, sosok Soe Hok Gie kembali dihidupkan dalam cuitan-cuitan media sosial yang menyeruak. Ditengah “krisis pandemi” menghantui, warganet ternyata masih mau menikmati dan berbulan madu dengannya. Mengunggah kata-kata Gie yang menumpuk terangkan hati, menginspirasi moral, sekaligus mencegah halaman kosong dalam sejarah bulan Desember.

Sebab meski pada 2005, Mira Lesmana dan Riri Riza memproduseri film Gie. Film yang sempat ramai disambut, dan berhasil mendapatkan penghargaan nasional maupun internasional. Terbitlah pula buku Soe Hok Gie …sekali lagi, tetapi perbincangan tentangnya tetap saja dingin seperti lembah Mandalawangi, hanya hangat di penghujung tahun.

Selanjutnya, Soe Hok Gie tidak pernah dikenal lagi dan terlupakan. Beda dengan yang lain, realita namanya tidak dicantumkan dalam buku sejarah. Jangkaan tercatut dalam kalender negara yang tiap tahun di romantisasi sebuah kerutinan perjalanan masa, hampir saja Gie tak ada dalam diskusi-diskusi atau perbincangan para aktivis mahasiswa.

Sang demonstran yang melawan tirani, penyuara keras kebenaran yang akhirnya berhenti, mati muda (27 tahun) di penyanjung puncak Mahameru tahun 1969. Kini Soe Hok Gie telah 52 tahun (17 Desember 1942 – 17 Desember 2021) berbahagia dalam ketiadaannya.

Tak hanya meromantisasi kisah, nama dan angka-angka dalam sejarahnya, apa yang menarik bagi generasi zaman now? Lebih melihat pergulatan intelektualnya yang dramatis tanpa merenungi impiannya? Karakternya yang idealis, atau gagasannya?

Bagi aku sendiri (pengagum-pembaca) Gie, terpenting keemasan sejarah Gie tak akan punya fase kadaluwarsa. Membaca dan merenungkan sejarahnya bukan sebagai beban jaman. Desain sosial-negara yang diimpikan Soe Hok Gie, saat ini masih beken untuk digemakan. Perjuangan keresahan Gie yang mengharapkan pemerintah yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme asal saja tidak mendapat stigma terlalu berat dan serius bagi jaman kekinian.

Tatkala para elite penguasa, atau rezim melenceng dan berlaku korup, menguras lalu menguasai dominan sumber daya alam negara. Sementara sebuah ironi ketimpangan ekonomi, serta ketertinggalan pembangunan sosial masyarakat terlihat nyata.

Maka berpikirlah menjadi sang hulubalang, hendaklah tata ulang gugus-gugus kekuatan (pendapat dan sikap), sehingga dapat efektif menghentikan penjajahan mereka. Barangkali banyak ahli teori sastra menyimpulkan secara linear semacamnya.

Namun demikian, mari memeriksa sejumlah bukti yang terbatas, betapa banyak peristiwa-peristiwa keanehan yang menuntut keterlibatan pendapat, sikap atau keberanian seseorang untuk mengisi ruang yang terbilang sepi, dan terabaikan tersebut.

Halaman :
Tags
SHARE