SHARE

Ilustrasi

Di dalam regulasi itu, penyelesaian sengketa Pilkades diserahkan kepada bupati/wali kota sebagai kepala daerah untuk menentukan bentuk penyelesaian apa yang diambil jika terjadi sengketa Pilkades melalui OPD teknis seperti Dinas Pemberdayaan Desa.

Namun dalam prakteknya di banyak tempat, tindakan penyelesaian sengketa yang dilakukan bupati/wali kota sering menggunakan pertimbangan politis bukan pertimbangan yuridis atau hukum.

"Akibatnya, pihak yang merasa dirugikan atau dicurangi dalam Pilkades sering merasa tidak puas dan diberlakukan tidak adil atas penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ini menjadi masalah baru sehingga potensi konflik horizontal semakin melebar," jelas ketua Program Studi PPKn Universitas Muhammadiyah Bengkulu itu.

Kata dia, dasar hukum lain yang lebih khusus mengatur tentang perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa diatur pada pasal 41 ayat (7) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 6/ 2014 tentang Desa.

Pasal itu menyebutkan dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan kepala desa, maka bupati atau wali kota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu tiga puluh hari, kecuali perselisihan yang terkait dengan pidana.

Apabila setelah penyelesaian perselisihan dalam jangka waktu tersebut masih terdapat pengajuan keberatan atas penetapan calon kepala desa terpilih, maka pelantikan calon kepala desa terpilih tetap dilaksanakan.

"Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kewajiban penyelesaian perselisihan mengenai hasil pemilihan kepala desa itu ada pada bupati atau wali kota. Inilah alasan mengapa dibutuhkan lembaga independen untuk menyelesaikan sengketa Pilkades," demikian Fahmi.

Halaman :